Minggu, 03 Mei 2009

Dimana Permaisuriku?

Huh! Tubuh ini penuh keluh. Setelah beberapa jam berlomba bersama waktu. Menuju puncak tertinggi, lepas dari hiruk-pikuk dan riuhnya kehidupan. Merambah alam sepi berkabut.

Jalur liku itu tetap sama. Hanya yang berlalu saja yang mungkin berganti, atau sama juga? Seperti diriku kali ini?

Diakhir alur yang datar tepian laut dengan deru ombak yang renyah pecah pantai. Diujung kaki bukit yang mulai terjal nyujuh langit, teriknya mentari akhir siang, tiba-tiba saja berganti menjadi gemerisik air luruh ke bumi. Curahi jagat raya, basahi semesta. Kayuhku menjadi berselimut hujan.

Sampai puncak, hujan mereda. Gigil menjelma. Senjapun jelang. Suara penabuh irama senja telah terdengar, riuh bersahutan dari semak-semak istana mereka. Symphoni alam yang indah tiada tara.

Jagat meremang, senja telah turun, kabut mulai bersentuhan dengan pertiwi. Ketika tersibak, masih sempat mata bersirobok dengan merahnya sinar surnya yang bersembunyi malu-malu di balik kabut.

Istana sendu menunggu bisu. Diam dalam gejolaknya. Tetap hangat dalam kesendiriannya. Kala raga ini menyentuhnya, ada kerinduan berhamburan mengitari tubuh lelah. Hangat bagai bibir berbalas pagut.

“Terimakasih telah datang kembali, bermalamkah?” sapa istana sepi.
“Ya, pasti untuk kali ini”

Sir....angin berdesir riang, bergulung di sekitar tubuh lelah ini, bagai sedang memeluk erat. Mata segera pejam, alirkan hangat itu dalam raga gigil. Udara terhirup pelan, pasti, menelusup di rongga-rangga dada.

Segera saja kenangan masa lalu berloncatan, membuncah diantara sepi. Tubuh segera terhempas dalam dingin kursi kayu, yang telah lama menanti hangatnya tubuh menyentuh. Kayu-kayu bisu itupun terlonjak girang, sambut tubuh lelah ini dengan sentuhan khasnya, berawal dingin perlahan menghangat. Yang ada kemudian hanya bisu sesaat.

“Kau masih sendiri??” tanya istana sepi.
“Seperti biasanya”
“Kapankau hangatkan ruang ini dengan hadirkan sang permaisuri?”
“Permaisuri? .... Ah, entahlah...”
“Senantiasa begitu ya.....”
“Sudahlah, mungkin memang belum waktuku”
“Waktu? Hem...kau bersembunyi di balik waktu!”
“Bukan maksudku...”
“Menyesalkah?”
“Untuk apa? Penyesalan hanya penghambat tiap langkah. Ku tak ingin berhenti, meski dalam kesendirian dan ingin terus melaju ke depan apapun adanya...”


Kala terus merambah pelan, membumbung kepuncak malam. Di luar lolongan anjing menyayat sepi, pudarkan kebisuan malam.

Istana bisu tak bertanya lagi. Waktu melarut. Mata melelah. Tubuh terkulai bisu. Dalam irama nafas teratur. Akupun lelap.

Selamat malam Kesendirian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar